JURU
MASAK
Damhuri
Muhammad
Perhelatan bisa kacau
tanpa kehadiran lelaki itu. Gulai kambing akan terasa hambar lantaran racikan
bumbu tidak meresap ke dalam daging. Kuah gulai kentang dan gulai rebung bakal
encer karena keliru menakar jumlah kelapa parut hingga setiap menu masakan
kekurangan santan. Akibatnya, berseraklah ftnah dan cela yang mesti ditanggung
tuan rumah. Bukan karena kenduri kurang meriah, tidak pula karena pelaminan
tempat bersandingnya pasangan pengantin tak sedap dipandang mata, tetapi karena
macam-macam hidangan yang tersuguh tak menggugah selera. Nasi banyak gulai
melimpah, tetapi helat tak bikin kenyang. Ini celakanya bila Makaji, juru masak
handal itu tidak dilibatkan.
Beberapa tahun lalu, pesta perkawinan
Gentasari dengan Rustamadji yang digelar dengan menyembelih tiga belas ekor
kambing dan berlangsung selama tiga hari, tidak berjalan mulus, bahkan hampir
saja batal. Keluarga mempelai pria merasa dibohongi oleh keluarga mempelai
wanita yang semula sudah berjanji bahwa semua urusan masak-memasak selama
kenduri berlangsung akan dipercayakan kepada Makaji, juru masak nomor satu di
Lareh Panjang ini. Namun, di hari pertama perhelatan, ketika rombongan keluarga
mempelai pria tiba, gulai kambing, gulai nangka, gulai kentang, gulai rebung,
dan aneka hidangan yang tersaji ternyata bukan masakan Makaji. Mana mungkin
keluarga calon besan itu bisa dibohongi? Lidah mereka sudah sangat terbiasa
dengan masakan Makaji.
“Kalau besok gulai nangka masih sehambar ini, kenduri tak usah
dilanjutkan!”
ancam Sutan Basabatuah, penghulu tinggi
dari keluarga Rustamadji.
“Apa susahnya mendatangkan Makaji?”
“Percuma bikin helat besar-besaran bila menu yang terhidang hanya bikin
malu.”
Begitulah pentingnya Makaji. Tanpa campur tangannya, kenduri terasa
hambar, sehambar gulai kambing dan gulai rebung karena bumbu-bumbu tak diracik
oleh tangan dingin lelaki itu. Sejak dulu, Makaji tidak pernah keberatan
membantu keluarga mana saja yang hendak
menggelar pesta, tak peduli apakah tuan rumah hajatan itu orang terpandang yang
tamunya membludak atau orang biasa yang hanya sanggup menggelar syukuran
seadanya. Makaji
tak pilih kasih, meski ia satu-satunya
juru masak yang masih tersisa di Lareh Panjang. Di usia senja, ia masih tangguh
menahan kantuk, tangannya tetap gesit meracik bumbu, masih kuat ia berjaga
semalam suntuk.
***
“Separuh umur Ayah sudah habis untuk membantu setiap kenduri di kampung
ini, bagaimana kalau tanggung jawab itu dibebankan pada yang lebih muda?” saran
Azrial, putra sulung Makaji sewaktu ia pulang kampung enam bulan lalu.
“Mungkin sudah saatnya Ayah berhenti.”
“Belum! Akan Ayah pikul beban ini hingga tangan Ayah tak lincah lagi
meracik bumbu,” balas Makaji waktu itu.
“Kalau memang masih ingin jadi juru masak, bagaimana kalau Ayah jadi
juru masak di salah satu rumah makan milik saya di Jakarta? Saya tak ingin lagi
berjauhan dengan Ayah.”
Sejenak Makaji diam mendengar tawaran Azrial. Tabiat orang tua memang
selalu begitu, walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya, meski
sepahit empedu tidak pula buru-buru dimuntahkannya, mesti matang
ia menimbang. Makaji memang sudah lama
menunggu ajakan seperti itu. Orang tua mana yang tak ingin berkumpul dengan
anaknya di hari tua? Dan kini, gayung telah bersambut, sekali saja ia
mengangguk, Azrial akan segera
memboyongnya ke rantau. Makaji tetap
akan mempunyai kesibukan di Jakarta, ia akan jadi juru masak di rumah makan milik anaknya sendiri.
“Beri Ayah kesempatan satu kenduri lagi!”9 Bahasa Indonesia Ekspresi
Diri dan Akademik
“Kenduri siapa?” tanya Azrial.
“Mangkudun. Anak gadisnya baru saja dipinang orang. Sudah terlanjur Ayah
sanggupi, malu kalau tiba-tiba dibatalkan.”
Merah padam muka Azrial mendengar nama itu. Siapa lagi anak gadis
Mangkudun kalau bukan Renggogeni, perempuan masa lalunya. Musabab hengkangnya
ia dari Lareh Panjang tidak lain adalah Renggogeni, anak perempuan tunggal
beleng itu. Siapa pula yang tak kenal Mangkudun? Di Lareh Panjang, ia dijuluki
tuan tanah, hampir sepertiga wilayah kampung ini miliknya. Sejak dulu,
orang-orang Lareh Panjang yang kesulitan uang selalu
beres di tangannya. Mereka tinggal
menyebutkan sawah, ladang, atau tambak ikan sebagai agunan. Dengan senang hati
Mangkudun akan memegang gadaian itu.
Masih segar dalam ingatan Azrial, waktu itu Renggogeni hampir tamat dari
akademi perawat di kota. Tidak banyak orang Lareh Panjang yang bisa bersekolah
tinggi seperti Renggogeni. Perempuan kuning langsat pujaan Azrial
itu benar-benar akan menjadi seorang
juru rawat. Sementara Azrial bukan siapa-siapa, hanya tamatan madrasah aliyah
yang sehari-hari bekerja honorer sebagai sekretaris di kantor kepala desa.
Ibarat emas dan loyang perbedaan
mereka.
“Bahkan bila ia jadi kepala desa pun, tak sudi saya punya menantu anak
juru masak!” bentak Mangkudun. Dan tak lama berselang, kabar ini berdengung
juga di telinga Azrial.
“Dia laki-laki taat, jujur, bertanggung jawab. Renggo yakin kami
berjodoh.”
“Apa kau bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau berjodoh dengan Azrial. Akan
saya carikan kau jodoh yang lebih bermartabat!”
“Apa dia salah kalau ayahnya hanya juru masak?”
“Jatuh martabat keluarga kita bila laki-laki itu jadi suamimu. Paham
kau?”
Derajat keluarga Azrial memang seumpama lurah tak berbatu, seperti sawah
tak berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tetapi tidak patut rasanya
Mangkudun memandangnya dengan sebelah mata. Maka, dengan berat hati
Azrial melupakan Renggogeni. Ia
hengkang dari kampung, pergi membawa luka hati.
Awalnya ia hanya tukang cuci piring di rumah makan milik seorang
perantau dari Lareh Panjang yang lebih dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit
demi sedikit dikumpulkannya modal, agar tidak selalu bergantung pada induk
semang. Berkat kegigihan dan kerja
keras selama bertahun-tahun, Azrial kini sudah jadi juragan, punya enam rumah
makan dan dua puluh empat anak buah yang tiap hari sibuk melayani
pelanggan. Barangkali, ada hikmahnya
juga Azrial gagal mempersunting anak gadis Mangkudun. Kini, lelaki itu kerap
disebut sebagai orang Lareh Panjang paling sukses di rantau. Itu sebabnya ia
ingin membawa Makaji ke Jakarta. Lagi pula, sejak ibunya meninggal, ayahnya itu
sendirian saja di rumah, tak ada yang merawat. Adik-adiknya sudah terbang
hambur pula ke negeri orang.
Meski hidup Azrial sudah berada, tetapi ia masih saja membujang. Banyak
yang ingin mengambilnya jadi menantu, tetapi tak seorang perempuan pun yang
mampu meluluhkan hatinya. Mungkin Azrial masih sulit melupakan Renggogeni, atau
jangan-jangan ia tak sungguh-sungguh melupakan perempuan itu.
***
Kenduri di rumah Mangkudun begitu semarak. Dua
kali meriam ditembakkan ke langit, pertanda dimulainya perhelatan agung. Tak
biasanya pusaka peninggalan sesepuh adat Lareh Panjang itu dikeluarkan. Bila
yang menggelar kenduri bukan orang berpengaruh seperti Mangkudun, tentu tak
sembarang dipertontonkan. Para tetua kampung menyiapkan pertunjukan pencak guna
menyambut kedatangan mempelai pria. Para pesilat turut ambil bagian memeriahkan
pesta perkawinan anak gadis orang terkaya di Lareh Panjang itu. Maklumlah,
menantu Mangkudun bukan orang kebanyakan, tetapi perwira muda kepolisian yang
baru dua tahun bertugas, anak bungsu pensiunan tentara, orang disegani di
kampung sebelah. Kabarnya, Mangkudun sudah banyak membantu laki-laki itu, sejak
dari sebelum ia lulus di akademi kepolisian hingga resmi jadi perwira muda.
Terdengar kabar bahwa perjodohan itu terjadi karena keluarga pengantin pria
hendak membalas jasa yang dilakukan Mangkudun di masa lalu. Aih, perkawinan
atas dasar hutang budi.
Mangkudun benar-benar menepati janji pada Renggogeni, bahwa ia akan
mencarikan jodoh yang sepadan dengan anak gadisnya itu, yang jauh lebih
bermartabat. Tengoklah, Renggogeni kini tengah bersanding dengan Yusnaldi,
perwira muda polisi yang bila tidak
“macam-macam” tentu kariernya lekas menanjak. Duh, betapa beruntungnya keluarga
besar Mangkudun. Tetapi, pesta yang digelar dengan menyembelih tiga ekor kerbau
jantan dan tujuh
ekor kambing itu tidak begitu ramai
dikunjungi. Orang-orang Lareh Panjang hanya datang di hari pertama, sekadar
menyaksikan benda-benda pusaka adat yang dikeluarkan untuk menyemarakkan
kenduri, setelah itu mereka berbalik
meninggalkan helat. Bahkan ada yang
belum sempat mencicipi hidangan, sudah tergesa pulang.
“Gulai kambingnya tak ada rasa,” bisik seorang tamu.
“Kuah gulai rebungnya encer seperti kuah sayur toge. Kembang perut kami
dibuatnya.”
“Masakannya tak mengenyangkan, tak mengundang selera.”
“Pasti juru masaknya bukan Makaji!”11 Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan
Akademik
Makin ke ujung, kenduri makin sepi. Rombongan pengantar mempelai pria
diam-diam juga kecewa pada tuan rumah, karena mereka hanya dijamu dengan menu
masakan yang asal-asalan, kurang bumbu, kuah encer, dan daging yang tak kempuh.
Padahal mereka bersemangat datang karena pesta perkawinan di Lareh Panjang
mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu rasa masakan hasil olah tangan juru
masak nomor satu. Siapa lagi kalau bukan Makaji?
“Kenapa Makaji tidak turun tangan dalam kenduri sepenting ini?” begitu
mereka bertanya-tanya.
“Sia-sia saja kenduri ini bila bukan Makaji yang meracik bumbu.”
“Ah, menyesal kami datang ke pesta ini.”
***
Dua hari sebelum kenduri berlangsung, Azrial, anak laki-laki Makaji
datang dari Jakarta. Ia pulang untuk menjemput Makaji. Kini, juru masak itu
sudah berada di Jakarta, mungkin tak akan kembali, sebab ia akan menghabiskan
hari tua di dekat anaknya. Orang-orang Lareh Panjang akan kehilangan juru masak
handal yangpernah ada di kampung itu. Kabar kepergian Makaji sampai juga ke
telinga pengantin baru Renggogeni. Perempuan itu dapat membayangkan betapa
terpiuhnya perasaan Azrial setelah mendengar kabar kekasih pujaannya
telah dipersunting lelaki lain.
(Sumber: Damhuri Muhammad, 2009, Juru
Masak: Sehimpun Cerita Pendek, Depok:
Koekoesan)
Cerpen Unik Susastra
4/
5
Oleh
INFORMASI PENDIDIKAN